Sejumlah Orang Tua Siswa Di Kota Tangerang Selatan Mengeluhkan Mahalnya Harga Seragam Di SMP Negeri Yang Mencapai Jutaan Rupiah, Ditambah Dugaan Kewajiban Pembelian Melalui Koperasi Sekolah

Sejumlah orang tua siswa di Kota Tangerang Selatan mengeluhkan mahalnya harga seragam di SMP negeri yang mencapai jutaan rupiah, ditambah dugaan kewajiban pembelian melalui koperasi sekolah.
Dikutip dari hasil penelusuran Tangsel_Update menunjukkan harga seragam di SMP negeri bervariasi, namun rata-rata mencapai Rp1 juta lebih.Di SMPN 1 Tangsel, misalnya, seragam untuk siswa laki-laki dibanderol Rp1,14 juta, sedangkan untuk siswa perempuan Rp1,35 juta. Sementara di SMPN 8 Tangsel harganya Rp1,445 juta, dan di SMPN 11 Tangsel mencapai Rp950 ribu.Dede, Wakil Humas SMPN 9 Tangsel, menegaskan sekolah tidak mengelola penjualan seragam, melainkan diserahkan kepada koperasi sekolah yang memiliki badan hukum.
“Item-nya hanya seragam saja, itu pun untuk memudahkan kebutuhan siswa. Jadi kita cover, tapi yang mengelola adalah koperasi yang berbadan hukum,” ujarnya.
Ketua Komisi 2 DPRD Kota Tangerang Selatan, Ricky Yuanda Bastian, menilai praktik pembelian seragam dengan harga tinggi tersebut merupakan pungutan liar (pungli) terselubung.
Ia menekankan bahwa sekolah seharusnya menyajikan rincian harga seragam dengan jelas, serta memberikan kebebasan kepada orang tua untuk membeli di luar sekolah. “Iya itu salah satu bentuk pungli (pungutan liar). Kita akan cek nanti,” katanya.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, juga mengkritik keras praktik penjualan seragam melalui koperasi atau komite sekolah. Menurutnya, pola ini terus terjadi karena tidak ada penindakan tegas.
“Modusnya bisa tiga, langsung lewat sekolah, koperasi, atau komite. Intinya, orang tua dipaksa beli di tempat yang sudah ditentukan dan tidak boleh beli di luar. Ini jelas pelanggaran,” tegas Ubaid, Senin (14/7/2025).
Praktik ini terjadi setiap tahun
Ia menambahkan, praktik seperti ini semakin membebani orang tua dan melemahkan prinsip pendidikan yang inklusif, terutama bagi keluarga kurang mampu.
Sementara Doni Nuryana dari Ikatan Alumni Sekolah Antikorupsi (Ika Sakti) Tangerang Raya mengatakan, praktik ini selalu terjadi setiap tahun tanpa sanksi dari Dinas Pendidikan.
“Praktik nya berjalan setiap tahun, tapi Dikbud Tangsel seolah tutup mata, tidak ada sanksi atau semacamnya, termasuk inspektorat,” ucap Doni.Ia mendorong adanya evaluasi terhadap pejabat di dinas pendidikan Tangsel agar ada tindakan nyata. “Evaluasi Kadis.
Indah Okem